Ekonomi kapitalis vs Ekonomi Islam = Risk Transfer vs Risk Sharing

Mendiskusikan asuransi konvensional versus syariah dalam artikel lain di blog ini (http://www.ifexplorer.blogspot.my/2016/04/mengapa-harus-ada-asuransi-syariah.html) membawa kesimpulan bahwa pokok soal asuransi konvensional hingga ditolak Syariah adalah mekanisme risk transfer.  Oleh karena itu, dalam asuransi yang sejalan dengan syariah, mekanisme ini diganti dengan risk sharing.  Ini membuat saya ingin sedikit melebarkan diskusi ini seperti dibawah ini. 

Dualisme risk transfer vs risk sharing sesungguhnya bukanlah spesifik dalam asuransi.  Ia sesungguhnya mewakili pertentangan antara ekonomi kapitalis dan ekonomi Islam. Ekonomi kapitalis memiliki tiga pilar penting yaitu fiat money, hutang piutang dan bunga.  Dan, perbankan berada dipusat segitiga itu dan merupakan institusi utama yang mengoperasikannya.


Hutang piutang dalam ekonomi kapitalis tidak dapat dipisahkan dari bunga, dimana dengannya kekayaan pemberi pinjaman bertambah seiring berjalannya waktu, meski tanpa melakukan usaha sedikit jua.  Apapun yang terjadi pada peminjam, baik atau buruk, tidak ada kaitannya dengan pemberi pinjaman.  Yang penting baginya adalah peminjam membayar bunga sebesar yang telah disepakati dimuka dalam tenggat waktu yang telah ditentukan pula.  Pemberi pinjaman tidak perlu peduli atas fakta bahwa peminjam berada dalam kesulitan finansial baik karena bisnis yang lesu atau terjadi bencana yang tak terduga.  Bila peminjam tidak mampu membayar hutang pada waktu yang telah ditentukan, pemberi pinjaman mungkin 'berbaik hati' memberi tangguh, namun dengan catatan bunga terhutang ditambahkan pada pokok hutang, dan keatasnya dikenakan bunga pula.  Jadilah ia bunga berbunga, dan kekayaan pemberi pinjaman pun tumbuh pesat secara eksponensial.

Dari sisi resiko, dapat dilihat bahwa dalam hutang piutang dengan bunga, pemberi pinjaman mentransfer semua resiko kepada peminjam.  Jadi risk transfer sebenarnya adalah karakteristik utama dari ekonomi kapitalis.  Ini tentu bukanlah suatu perniagaan yang adil.  Ketidakadilan yang membuat Islam dan agama samawi yang lain (Yahudi dan Kristen) mengharamkan riba.

Untuk menghindari ketidakadilan akibat bunga ini, maka Islam melarang hutang piutang dijadikan sebagai perniagaan.  Satu-satunya, hutang piutang yang dihalalkan adalah qard, yaitu memberi hutang kepada seseorang yang sangat membutuhkan dan hutang itu tidak boleh disertai bunga.  Peminjam harus mengembalikan sejumlah yang dipinjamnya, tidak lebih tidak kurang.  Jadi qard sejatinya merupakan kontrak non-komersil dan digunakan untuk tolong menolong.  Islam meletakkan persoalan hutang piutang sebagai sesuatu yang sangat berat, bahwa hutang wajib dibayar.  Hutang tetaplah hutang, meski peminjam telah meninggal dunia, ahli warisnya tetap harus melunasi. 

Perniagaan harus dilandaskan pada penyertaan modal pada usaha yang dijalankan.  Pemberi pinjaman pada ekonomi kapitalis posisinya kini menjadi pemilik modal.  Konsekuensinya, pemilik modal haruslah turut menanggung resiko usaha tersebut sesuai dengan porsi keikutsertaannya.  Bila usaha menghasilkan keuntungan, untungnya dibagi sesuai porsi yang disepakati.  Demikian pula kerugian, dibagi sesuai dengan porsi yang sama.  Inilah dia risk sharing.             

(Kuala Lumpur - 2 April 2016)



Comments

Popular Posts